Sebelumnya pagelaran wayang kulit Anoman Duta berlangsung hampir tiga jam. Saat nayaga dan para sinden bergegas merapikan peralatan pentas, aku memperhatikan sekitar. Tanpa sengaja aku melihat para sinden keluar dari arena. Dari sisi belakang, aku baru tersadar bahwa sinden termuda itulah yang menepuk bahuku. Aku bertanya pada Sumi, dia mengatakan bahwa perempuan cantik itu putri bungsu dari Eyang. Namanya Raden Putri Rahayu.
-------------------------------------------------------------------------
Halaman rumah Eyang sebagai tempat pagelaran wayang kulit kini telah sepi. Warga yang menyaksikan pertunjukan kembali ke rumahnya masing-masing, begitu juga para prajurit kompeni yang berjaga telah kembali ke markasnya di benteng pendem. Karena sudah cukup sepi, maka aku dan Sumi juga lantas bergegas kembali pulang.
Langit dini hari terlihat cukup terang. Bulan merona menjadi satu-satunya sinar yang menerangi desa. Dalam perjalanan kami yang menempuh waktu sekitar 20 menit, kami melihat sesosok ksatria berkalung sorban putih menunggangi kuda putih yang besar dan anggun. Larinya cukup kencang dan menuju ke arah yang berkebalikan dengan tujuan kami.
"Wah kau lihat tadi ksatria yang menunggang kuda putih, Ran. Sepertinya dia bukan warga sini ya dan kelihatan bukan orang biasa. Kayaknya ksatria tadi seorang priyayi atau bangsawan deh Ran" begitu kata Sumi.
"Ah yang benar Sum. Kenapa kamu bisa yakin bahwa ksatria tadi bukan orang sini?" Tanyaku.
"Ya kalau warga sini pasti jarang yang punya kuda secantik tadi Ran. Peliharaan seperti itu kan nggak sembarang orang punya. Pertanyaanmu itu lho, kayak nggak tau aja. Apalagi ini kan sudah dini hari, nah seharusnya penduduk sudah pada kembali ke rumahnya masing-masing dan arahnya sama seperti kita. Sedangkan dia berlawanan arahnya dari perjalanan yang kita lalui" Jelasnya.
'' Oh begitu yaa. Benar juga ya Sum" balasku.
Tak terasa perjalanan kami hampir sampai rumah. Dari kejauhan seorang wanita berusia paruh baya tergopoh-gopoh antata berjalan setengah berlari menuju ke arah kami. Sambil memegang jariknya agar tidak mengganggunya saat berlari.
"Oalah Sum... Sum kowe ki ngendi wae lho Sum. Dari tadi bapak dan simbok itu nyari kamu kok nggak pulang-pulang" Tak lain wanita itu ialah simboknya Sumi.
"Ono opo to mbok kok goleki aku?" Tanya Sumi.
"Ini lho pulang dari pertunjukan wayang depan rumah kok ada karung goni, eh pas dibuka ternyata isinya bahan makanan dan juga emas. Alhamdulillah ini rezeki dari Gusti Pangeran. Kamu bantu simbok ya buat nyimpen di tempat yang aman di rumah. Bersyukur bisa buat dipakai kebutuhan keluarga kita selama nanti paceklik" kata Simbok.
"Alhamdulillah. Lha dari siapa to mbok?" Tanya Sumi.
"Ya simbok juga nggak tau" jawab Simboknya
"Oalah ya wis, sik ya Ran. Aku tak balik dulu" kata Sumi
Aku melihat Sumi menjauh bersama Simboknya. Tepat di sisi kanan Sumi menuju rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu (gedhek).
---Dari Benteng Pendem Van Den Bosch---
"Lapor Mayor, kami telah kembali dari tugas dan melakukan pengawasan sampai tuntas" para prajurit menghadap Mayor.
"Bodoh kalian, apa yang kalian lakukan di sana?. Tak becus memang kerja kalian, kalian ditugaskan di sana bukan hanya untuk mencari hiburan dan melihat kecantikan para sinden" murka Mayor.
Para prajurit kebingungan tanpa tahu apa sebab kemarahan Mayor.
"Kalian masih tak tahu apa kesalahan kalian???'' Tegas Mayor
"Ampun mayor. Kami mohon ampun. Kami sungguh tidak tahu. Semua berjalan aman. Tidak ada yang mencurigakan" jelas prajurit
"Kita kemalingan lagi. Persediaan bahan makanan dan harta benda dicuri. Sudah berapa kali hal ini terjadi saat ada perayaan besar. Hari ini kalian tidak boleh beristirahat. Cari pelakunya sampai ketemu" perintah Mayor
"B.. Ba.. baik kami laksanakan Mayor" prajurit bergegas pergi meninggalkan benteng dan menuju desa Pelem
Bersambung...
Waduh!
BalasHapusGalak si mayor
Bahan makanan sama emas itu hasil curian kah??
hati" loh Sum
Mayor memang harus tegas dan galak kak wkwk
Hapus