Semangat selalu identik dengan suatu awal untuk memulai sesuatu. Tanpa semangat segala sesuatu tidak akan terjadi, entah amarah, impian, ambisi, bahkan pertumpahan darah sekalipun bermula dari semangat. Begitu pula semangat menjadi awal bagiku memulai menulis kembali. Bukan instagram, facebook atau status whatsapp. Saat-saat yang menjenuhkan terkadang berbagi di tempat-tempat publik seperti itu. Padahal, secara harfiah menulis juga bisa bertujuan untuk membagikan suatu pikiran.
Tidak ada banyak pikiran yang berlarian di sekitar otakku. Kali ini dengan sedikit nekat dan keberanian ala kadarnya, aku mulai menulis sebagai obat atas rasa sedih, kecewa, bingung dan emosi lainnya yang sulit diungkapkan. Kedua kalinya, sudah dipastikan dokter obgyn dan staff laboratorium bahwasanya tiada tanda positif di dalam rahimku. Tidak ada air mata yang tidak terbendung di pipiku, karena aku merasa sudah cukup menangisinya di hari-hari yang lalu.
Saat-saat dimana kekhawatiranku memuncak, sedangkan tiada seorangpun di sisiku. Aku ingat, di sudut gelap kamar kos di Yogyakarta bantal kupeluk erat di samping perutku. Ketika orang-orang disibukkan berbuka puasa atau sholat tarawih di bulan April. Hanya seorang yang terbersit di pikiranku untuk meminta bantuannya. Sambil sesenggukan aku menelpon kawanku, tak selang berapa lama dia menjemput bersama suaminya dan mengantarkanku ke dokter terdekat. Dari PKU Muhammadiyah sampai KIA Rachmi, darah terus menerus keluar, setidaknya ada sedikit rasa tenang setelah diberikan obat penguat kandungan, lantas aku pulang ke kos untuk rawat jalan.
Kesedihan dan rasa sakit ternyata belum berakhir malam itu juga. Darah terus mengalir bahkan hingga tengah hari, dan semakin menambah tangisanku yang kian meluap. Sembari menunggu kehadiran suamiku sampai ke Yogyakarta, akhirnya aku dilarikan ke IGD RS UGM diantarkan oleh bapak ibu kos dan mbak Sukma menjelang waktu ashar. Entah berapa kali jari petugas medis masuk ke vaginaku, dan setiap masuk pula seolah keran air dibuka sepenuhnya. Entah sekian tisu yang banyak digunakan untuk membersihkan air merah itu. Setelah dipastikan harus rawat inap dan tes SWAB, mulai sore itu untuk pertama kalinya di hidupku aku menginap di rumah sakit. Begitu pula untuk pertama kalinya suamiku juga harus menginap lama bersamaku di kamar perawatan.
Tiga hari dua malam, tanggal 21 April aku bisa keluar dan bisa dipulangkan ke rumah. Dalam sepenuhnya keterpaksaan, semua urusan pekerjaan di Yogya aku tinggalkan, lantas ikut suami ke Sukoharjo dan memulai kehidupan yang baru. Saat itu aku bertekad harus sukses, berhasil dan bisa mewujudkan impianku. Bagaimanapun aku harus bahagia dan menemukan jalan juga caranya. Setelah bed rest, aku mulai membuka usaha resto. Tidak lama, tempat bekerja suamiku juga membuka kesempatan untuk pekerjaan baru, yang bukan kebetulan sangat sesuai dengan passion-ku. Alhamdulillah, kesempatan itu datang dan bersambut baik padaku. Namun ternyata dua hal tersebut cukup menguras tenagaku. Sekalipun sudah dipastikan di salah satu klinik di Solo jika rahimku sudah bersih. Tidak lama, untuk memastikan kembali aku mencoba mengecek kehamilan. Menggunakan tiga testpack, yang kesemuanya menunjukkan dua garis. Saat itu sejujurnya aku merasa lebih senang, dibandingkan sebelumnya. Di waktu yang sama, aku juga merasa lebih takut dan khawatir.
Ketakutanku benar terjawab saat memasuki minggu kelima hari kelima. Darah lagi-lagi keluar dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan pendarahan di kehamilan pertama. Seperti siklus haid, darah ternyata tak berhenti hingga hari Kamis. Tanpa banyak berpikir, tak perlu menggunakan BPJS atau KIS, secepatnya kami ke IGD dan dirujuk ke Poliklinik kandungan. Tidak ada sedikitpun tanda kehidupan di perutku, lantas semakin dipastikan dengan hasil laboraturium. Tanggal 10 Juni, untuk kedua kalinya aku dipastikan keguguran. Tiada kesedihan yang membuncah, kali ini hanya hikmah dan upaya untuk memulihkan jiwaku agar semangat menjalani hidup dengan lebih baik lagi.
Malam itu menjelang istirahat aku bilang, "tolong buatkan aku blog, supaya aku punya kegiatan positif dan mau menulis lagi". Meskipun permintaan itu tak juga diwujudkan suami, dan akhirnya aku realisasikan sendiri. Aku tak tau akan menulis apa, aku hanya berpikir bukan saatnya menulis di media sosial. Mungkin aku harus mencoba baru,dengan menjaga tulisanku dalam memori jangka panjang. Aku tak peduli jika tidak ada yang membutuhkan ataupun membaca tulisanku. Aku berharap pikiranku dan semangatku tidak redup atau bahkan padam. Aku mau semangatku tetap hidup dalam tulisan. Bilamana ada keberkahan yang layak aku dapatkan, semoga kelak tulisanku bisa memberikan manfaat dan kebaikan untuk orang lain. Meskipun aku hanya insani.
Posting Komentar